Ubikayu Mukibat pada dasarnya adalah ubikayu hasil sambungan dari batang bawah ubikayu (Manihot esculenta) dengan ubikayu karet (Manihot glaziovii). Nama Mukibat diambikan dari penemu teknologi tersebut Bapak Mukibat, seorang petani yang hidup dan tinggal di daerah Ngadiloyo, kabupaten Kediri pada periode 1903-1966. Menurut penduduk setempat, Bapak Mukibat mendapatkan ide menyambung ubi karet ke ubikayu biasa setelah mengikuti kursus yang diberikan Petugas Penyuluh Pertanian di mana kepada setiap partisipan ditugasi secara individual menyambung tanaman.
Pada waktu itu kondisi perekonomian sangat sulit sehingga banyak petani yang memanfaatkan ubikayu sebagai bahan makanan pokok. Namun kerena desakan keadaan banyak terjadi pencurian ubikayu di ladang-ladang. Untuk mengantisipasi hal tersebut ubikayu biasa disambung dengan batang atas ubi karet yang dikenal sebagai telo Gendruwo yang berumbi pahit dan beracun. Ternyata dari hasil penyambungan tersebut diperoleh hasil umbi yang sangat tinggi, hampir 3-6 kali lipat hasil ubikayu biasa.
Meskipun pada awalnya Mukibat sistem tempelan tunas ubikayu karet ke batang ubikayu biasa, namun pada akhirnya sistem grafting (penyambungan) menjadi lebih populer. Selama 20 tahun pertama sejak penemuan teknologi Mukibat, terdapat variasi dan modifikasi yang dilakukan oleh petani lain antara lain sistem Kurur, di mana stek ubikayu biasa dan ubikayu 2 karet ditanam terpisah, dan setelah berumur 45 hari tunas muda ubi karet disambungkan ke tunas muda ubi kayu biasa. Dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan kanopi ubi kayu karet yang terlalu besar dan berat ditopang oleh batang bawah ubikayu biasa, Satrawi menyambung batang atas ubi karet pada tiga batang bawah ubi kayu biasa. Dengan teknologi ini dimungkinkan menyambung 3-4 bahkan tujuh batang bawah varietas ubikayu yang berbeda dengan batang atas ubi karet. Beberapa petani di Jawa Timur mengklaim bahwa dengan teknologi yang lebih sederhana yaitu dengan membuat perforasi pada bagian gabus stek ubi kayu biasa dengan sebilah bambu, tanpa harus disambung dengan batang atas ubi karet hasil umbinya akan meningkat.
Teknologi ini disebut dengan sistem Masduki, namun tidak diketahui kebenaran teknologi tersebut. Meskipun ubikayu sistem mukibat ini memberikan hasil yang tinggi, tetapi dalam pengembangannya sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hambatan yaitu: (1) membutuhkan ketrampilan dalam pembuatan bibit, (2) tanaman ubi karet sebagai batang atas tidak selalu tersedia di setiap daerah, (3) dibutuhkan lubang tanam yang dalam dan besar, (4) pada daerah yang anginnya cukup kencang diperlukan penyangga agar tidak patah sambungannya, dan (5) kesulitan panen karena bentuk umbi yang besar dan panjang.
Penelitian tentang ubikayu sistim mukibat masih belum banyak dilakukan karena pada saat itu belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dari hasil pengamatan di lapang ternyata cara bertanam ubikayu sistem mukibat masih cukup beragam.
Pada tahun 1974 sistem Mukibat telah diteliti oleh Universitas Brawijaya, yang menyimpulkan bahwa source potential dari batang atas mampu memasok sink capacity dari batang bawah, sehingga produktivitas ubikayu mampu ditingkatkan menjadi >70 t/ha. Bahkan dengan pemeliharaan intensif dan diumurkan > 1,5 tahun hasil ubikayu sistem Mukibat dapat mencapai >100 kg/tanaman. Lembaga Penelitian Internasional IITA di Ibadan Nigeria, dan CIAT di Cali Columbia juga telah mencoba menerapkan sistem Mukibat yang berkesimpulan bahwa source-sink relationship meningkat seirama, sehingga mampu meningkatkan produktivitas >100%.
http://pangan.litbang.deptan.go.id/file/file/inotek/3BertanamUbikayuSistemMukibat.pdf