DI TENGAH perkembangan pesawat pengintai di luar negeri, Indonesia pun tidak ketinggalan mengembangkan teknologi serupa. Salah satunya inovasi buatan peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berhasil mengembangkan pesawat udara nirawak (PUNA) dengan nama Wulung.
Kepala Program PUNA BPPT Joko Purwono menjelaskan wilayah Indonesia yang sangat luas dengan lebih dari 17 ribu pulau di dalamnya merupakan kawasan yang cukup rawan. Banyak daerah menjadi sasaran pencurian ikan, tempat transaksi ilegal dan penyusupan, serta rawan kebakaran. Bila wilayah NKRI ini ingin aman, pemantauan baik di udara, darat, maupun laut pun harus intensif dilakukan.
Untuk melakukan pemantauan, di negara-negara maju sudah dikembangkan teknologi pesawat udara nirawak. Pesawat itu tidak hanya untuk mengawasi titik-titik rawan di sebuah negara. Bahkan, Amerika Serikat dan Israel telah mengembangkan pesawat nirawak sebagai alat pengintai musuh. “Sekarang PUNA menjadi andalan di wilayah konflik karena bila pesawat itu diserang roket, tidak ada korban jiwa. Artinya bisa meminimalkan korban perang,” ujar Joko.
Di Indonesia, pesawat udara tanpa awak ini memiliki beragam manfaat sesuai kebutuhan. Selain untuk memperkuat personel TNI di udara, pesawat PUNA Wulung ini dipakai untuk pengawasan transportasi, search and rescue (SAR), penelitian atmosfer, pengawasan kebencanaan, kargo operasi hujan buatan, pengelolaan pertanian dan perkebunan, penyebaran benih, pemantauan pembalakan hutan dan pencurian ikan, pengamatan vegetasi daerah kritis, serta pengawasan daerah perbatasan. Teknologi nirawak akan menjadi teknologi cukup prospektif di masa depan. Apalagi di Indonesia, yang memiliki wilayah cukup luas untuk diawasi, teknologi ini bisa diandalkan dengan laporan yang dibawa pesawat tersebut secara real time.
Riset pesawat tanpa awak ini sudah dimulai pada periode 2000-2005. Hingga sekarang total anggaran risetnya mencapai Rp15 miliar. Pada periode itu BPPT menghasilkan 10 prototipe dengan tiga model, yaitu Wulung, Pelatuk, dan Gagak. Mesin yang digunakan bermerek Limbach buatan Jerman denagan memamakai bahan bakar Pertamax. Pada uji coba saat itu, selama 1 jam penerbangan dibutuhkan sekitar 9 liter bahan bakar. Wulung dan Pelatuk dirancang sebagai pesawat nirawak yang stabil agar mampu diberi muatan seperti kamera untuk pemotretan atau perekaman video di suatu area yang dijelajahi.
Sebetulnya pengembangan Wulung untuk mewujudkan adanya wahana terbang yang memiliki risiko kecil, hemat biaya, dan efektif dalam pengoperasiannya. Pesawat tersebut bisa digunakan untuk keperluan sipil dan militer. Selain Wulung, BPPT juga mengembangkan pesawat pengintai jarak pendek dan jarak jauh seperti Sriti, Alap-alap, dan Gelatik.
Dalam perjalanan riset pada 2008 lahir generasi Wulung dengan bobot 120 kilogram. Pesawat tersebut didesain super ringan dan dilengkapi dengan teknologi autonomous untuk menggantikan sistem kendali jarak jauh yang memakai remote control. Pesawat dikemudikan melalui stasiun pengontrol (ground control station) dengan mobil minibus. Sistem kerja autonomous pada jenis Wulung ini memakai sistem perintah tujuan yang harus dicapai pesawat. Caranya operator harus menetapkan posisi koordinat yang dituju. Pesawat bisa diperintahkan ke posisi koordinat yang dituju atau koordinat lain, atau kembali ke landasan.
Selama ini, dengan teknologi autonomous, terbukti pesawat tidak pernah salah target. Berbeda saat uji coba pesawat nirawak yang memakai remote control. Pada jarak 5 kilometer, pesawat sudah tidak tampak sehingga mungkin terjadi kesalah an target mendarat. Sistem autonomous memungkinkan pemantauan kedudukan pesawat pada ketinggian dan koordinat tertentu.
“Untuk PUNA Wulung ini memiliki ketahanan terbang maksimum 4 jam dan jarak jelajah maksimum 200 kilometer, serta ketinggian terbang 12.000 kaki,” terang Joko. Pesawat ini juga dilengkapi dengan kamera yang bisa berputar sehingga s eluruh wilayah bisa terekam. Hasil rekaman dari penjelajahan udara itu bisa disaksikan langsung dari stasiun pengendali di darat. Menariknya, kamera tersebut bisa dipakai untuk siang dan malam hari. Memang, nantinya pesawat Wulung ini akan dirancang bisa mendarat pada malam hari, dengan dilengkapi kamera inframerah. Dengan demikian, PUNA Wulung tetap bisa mendarat di lokasi yang ditentukan secara sempurna.
Dalam perkembangannya, PUNA Wulung akan mengemban tugas khusus sebagaimana yang dilakukan di negara-negara maju. “Pesawat PUNA bisa untuk tugas khusus pengeboman, mendeteksi ancaman, dan sebagainya,” imbuh Joko. Saat ini PUNA buatan BPPT itu sudah diuji coba di tempat pelatihan militer milik TNI-AD di Batujajar, Jawa Barat, dan Nusa Biru, Pangandaran, milik Kementerian Perhubungan.
Untuk menuju industrialisasi dan komersialisasi, BPPT menggandeng PT Dirgantara Indonesia dalam memproduksi PUNA seri Wulung. BPPT juga menggandeng PT LEN untuk pengembangan teknologi electro optical surveillance yang bisa dipantau lewat sistem komunikasi di daratan secara real time. Model pantauan real time dengan Wulung ini sangat penting untuk memantau wilayah perbatasan antarnegara. Pengembangan teknologi pemantau ini akan disesuaikan dengan teknologi yang dipakai di luar negeri.
Kecanggihan Wulung mendapat perhatian Kementerian Pertahanan. Buktinya, Kementerian Pertahanan telah memesan PUNA produksi PT Dirgantara Indonesia itu untuk 100 skuadron. Hal itu diungkapkan Kementerian Pertahanan melalui Direktur Teknologi Industri Ditjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Marsma TNI Darlis Pangaribuan, saat menyaksikan penandatanganan kerja sama BPPT dengan PT Dirgantara Indonesia dan PT LEN di Jakarta, 29 April 2013. Satu skuadron berbeda-beda isinya. Ada yang satu skuadron berisi 12 pesawat. Ada juga yang berisi 16 pesawat dan 24 pesawat. Yang pasti, kehadiran pesawat nirawak akan semakin memperkuat pengawasan wilayah NKRI yang cukup luas.
referensi:
– http://www.ristek.go.id