Bom atom yang diberi nama Little Boy jatuh di Hiroshima, Jepang, diikuti Fat Man di Nagasaki, memaksa Jepang menyerah kepada Sekutu.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat Indonesia yang saat itu berada di bawah kekuasaan Jepang memanfaatkan situasi dengan memproklamirkan kemerdekaannya.
Namun kedatangan Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang ke Indonesia diboncengi Belanda yang ingin kembali berkuasa, sehingga kehadirannya kembali di Tanah Air memicu pergolakan termasuk insiden penyobekan bendera Merah Putih Biru di Hotel Yamato yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945.
Itulah adegan pembuka film animasi layar lebar buatan MSV Pictures, Batlle of Surabaya, yang ditayangkan sebagian di hadapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu saat mengunjungi studio animasi di STMIK Amikom Yogyakarta awal pekan ini.
Film berlatar belakang sejarah itu mengambil tokoh utama seorang remaja penyemir sepatu bernama Musa. Nasib pada masa peperangan membawa Musa menjadi kurir surat dan kode-kode rahasia.
Film tidak ditayangkan secara penuh karena menurut Eksekutif Produser Battle of Surabaya, Prof M Suyanto, sedang ditawarkan kepada beberapa distributor internasional termasuk Walt Disney, dan terikat perjanjian.
Meskipun menggunakan latar belakang situasi Indonesia pada awal kemerdekaan dan budaya Indonesia, demi memenuhi selera pasar internasional, cerita film tersebut disesuaikan dengan selera Hollywood.
“Alur cerita yang disukai Hollywood itu yang ada dramatic journey dan inner journey-nya, lalu setelah itu kembali ke kondisi normal. Kalau film Indonesia biasanya setelah dramatis selesai, tidak kembali ke kondisi normal,” ujar Suyanto yang juga CEO STMIK Amikom itu.
Untuk membuat cerita yang sesuai dengan selera Hollywood itu pula, ia memakai orang asing, Robert Pawloski sebagai story editor.
Usaha untuk memenuhi selera pasar global tersebut tidak sia-sia, terbukti meski belum rampung sepenuhnya, film animasi tersebut sudah menyabet penghargaan. Penghargaan tersebut diperoleh pada ajang International Movie Trailer Festival (IMTF) 2013 di California AS, untuk kategori People’s Choice Award.
Trailer film itu mengalahkan ratusan trailer film lain dari 20 negara termasuk Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, dan Prancis.
Film tersebut juga menjadi nominator Foreign Animated Film dan Golden Trailer Festival.
Walt Disney
Mimpi Suyanto untuk membuat film animasi layar lebar Indonesia yang mendunia tampaknya akan segera menjadi kenyataan.
Saat ini, film yang masih dalam proses produksi itu sedang ditawarkan ke beberapa distributor internasional, salah satunya adalah Walt Disney. Tawaran kepada raja animasi dunia itu sepertinya mendapat sambutan baik. Ia memperkirakan nilai jual film Battle of Surabaya adalah sekitar 10-20 juta dolar AS.
“Walt Disney mendorong animator Indonesia untruk membuat lebih banyak film animasi layar lebar. Karena untuk memasarkan lima atau 10 animasi itu biayanya sama,” ujar Suyanto menceritakan hasil pertemuannya dengan pihak Walt Disney.
Ia mengatakan, Walt Disney sudah mencari waktu yang tepat untuk meluncurkan film tersebut. “Namun Disney mencari waktu (peluncuran) yang Battle… tidak ada musuhnya (pesaing pada waktu yang sama),” ujarnya.
Untuk membuktikan keseriusan tersebut, katanya, pihak Disney sudah dua kali akan datang ke Yogyakarta, yang terakhir adalah Rabu lalu, namun batal karena waktunya bersamaan dengan peluncuran film baru.
Meski tampaknya jalan menuju sukses sudah terbuka, Suyanto masih belum dapat memastikan kapan film tersebut akan ditayangkan karena hingga saat ini masih dalam proses penyelesaiaan. Ia menargetkan film yang proses pembuatannya sudah 1,5 tahun itu selesai pada 10 November tahun ini.
Untuk membantu memuliskan jalan, Menparekraf Mari Pangestu mendukung dan berjanji akan memfasilitasi NSV Pictures untuk membangun kemitraan dengan pisah Disney. “Atau kalau pun bukan Disney, yang penting distributor global,” katanya.
Mari mengatakan, peluang itu cukup terbuka karena pihak Disney sendiri mengaku tertarik dengan film yang mengangkat cerita yang sangat spesifik dari suatu negara, seperti film Mulan (Tiongkok) dan Frozen (Norwegia) yang sukses di pasaran.
“We’re always looking for that,” katanya menirukan pernyataan pihak Walt Disney.
Bernilai ekonomi
Menparekraf Mari Pangestu mengaku terkejut melihat perkembangan dunia animasi di Yogyakarta yang berkembang pesat.
“Saya tidak mengira animasi di Yogyakarta sudah sangat berhasil seperti itu,” katanya.
Ia mengaku tergugah oleh cerita di film tersebut yang mengambil momen-momen menyentuh emosi dan diselingi oleh budaya tradisional Indonesia seperti reog serta kerukunan umat beragama yang cuplikannya ditampilkan dalam film itu.
“Risetnya, penataan cerita, penulisan skenario, visualisasi, desain, dan lagunya bagus sekali. Semua memerlukan seseorang yang bisa memadukan itu semua,” ujar Mari tentang film yang disutradarai Aryanto Yuniawan itu.
Mari berharap film tersebut pada akhirnya dapat menumbuhkan ekonomi kreatif. Menurutnya, jika film tersebut atau film animasi apapun berhasil di pasaran, maka keuntungannya bukan hanya diperoleh dari hasil penjualan filmnya tetapi juga dari merchandise, iklan, percetakan, bahkan dari game.
Saat ini, katanya, pasar film animasi di dalam negeri masih terbuka lebar, karena pasar dalam negeri masih sekitar 90 persen didominasi oleh film dari luar negeri. Padahal selain banyaknya stasiun televisi, di Indonesia juga terdapat sekitar 780 layar bioskop.
Meski demikian, memasarkan film animasi ke luar negeri pun memberi keuntungan lebih bukan hanya keuntungan finansial secara langsung melainkan juga menjadi pencitraan yang sangat baik bagi negara.
Ia mencontohkan citra negeri Tiongkok yang menurutnya terangkat dan jumlah wisatawan asing meningkat setelah beredarnya film animasi Mulan dan Kungfu Panda.
Semoga Battle of Surabaya bisa membuktikan bahwa film animasi Indonesia mampu bersaing di dunia internasional.
sumber: antaranews.com